Liputan
/ Berita
Kompas
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/10/humaniora/3675739.htm
Selasa,
10 Juli 2007
Satu Dekade
Pergulatan Komikus Muda
Indira
Permanasari
"Aku
berjalan bukan tanpa tujuan, pikiranku
sarat akan mimpi-mimpi dan hatiku penuh
dengan harapan-harapan. Ladang kehidupan
yang menjenuhkan...."
Seorang
laki-laki kumal yang hanya mengenakan
cawat digambarkan tengah berjalan dengan
beban di pundaknya. Tiba-tiba sekelompok
anak melemparinya dengan batu.
Dia
pun bertanya seperti bergumam kepada
dirinya sendiri. "Mengapa orang
melihatku sebagai musuh? Apa salahku,
apa ini karma atas perbuatanku di masa
lalu.... Aku dicerca, digunjing, dianggap
kotor bahkan.... Selama masaku, aku
selalu tersudut, dalam ketakutan berkepanjangan.
Jawab! Kenapa?"
Dikisahkan
kemudian seorang berambut gondrong
mengusir anak-anak itu dan menawarinya
makanan. Cuplikan cerita dalam panil-panil
komik yang sepertinya ingin bercerita
tentang alam pikir seorang gila itu
lalu ditutup dengan kata-kata, "Jadilah
gila... dan katakan pada kami, apa
yang tersembunyi di balik tirai ke-NORMALAN-mu."
Cerita
itu terselip di antara lembar komik
Red Army karya sejumlah pekomik muda
asal Malang, Jawa Timur. Komunitas
komik Red Army itu tergabung dalam
kegiatan Festival Komik Indonesia Satu
Dekade, akhir Juni lalu. Sebanyak 35
komunitas dari berbagai daerah di Indonesia,
seperti Jakarta, Bandung, Solo, dan
Surabaya terlibat dalam kegiatan tersebut.
Mereka membuka gerai bambu dan memperkenalkan
karya-karya mereka. Festival itu sendiri
diadakan menjadi bagian dari acara
tahunan Ancol Art Festival.
Di
salah satu rumah panggung, dipamerkan
perwakilan karya-karya komik yang telah
diterbitkan selama 10 tahun terakhir
atau satu dekade ini. Beberapa karya
itu, antara lain, Zantoro
karya komunitas Jagoan Komik dari Jakarta,
Wind Rider karya Is Yuniarto dan John
G Reinhart dari Surabaya.
Melihat
cerita dan gambar yang ditampilkan
komik fotokopian dengan sampul karton
itu saja sudah jelas perbedaannya dengan
komik-komik yang dijual di pasaran
umumnya. Di sampul depannya bertengger
lambang besar Red Army berikut slogan "Hanya
Satu Kata, Lawan!!!" di lembar
keduanya. Halaman terakhir diisi tulisan
Local Comic Revolution.
Arnes
dari Red Army mengatakan, komik yang
mereka hasilkan ialah bagian dari perjuangan.
Perjuangan menampilkan eksistensi mereka
apa adanya di tengah dunia perkomikan
yang lebih diwarnai oleh komik asing.
Buku
komik Red Army itu sudah terbit enam
kali. Saat ini distribusinya berdasarkan
titipan lewat pertemanan ke Bali, Yogyakarta,
Bandung, dan Surabaya. Ada juga yang
di-posting lewat internet, kemudian
diperbanyak oleh jaringan mereka.
Mereka
juga belum berhitung untung-rugi. "Yang
penting memperkenalkan diri terlebih
dahulu. Untuk satu judul terkadang
kami cuma membuat 25-50 fotokopi untuk
disebarkan ke distro atau toko buku
kecil," ujar Arnes.
Komik fotokopian
Sebagian
besar anggota komunitas itu awalnya
merupakan mahasiswa Desain Komunikasi
Visual, Universitas Negeri Malang.
Tahun 2004, anggota komunitas itu hanya
lima orang yang hobi membuat komik.
Komunitas itu lalu berkembang jadi
studio bernama Red Army.
Komunitas
itu berupaya tetap mempertahankan tema
perlawanan dan pembelaan atas kaum
marjinal yang jadi karakter mereka. "Kami
saat ini sedang membuat komik tentang
misteri kematian Munir, tetapi belum
terbit dan sekarang sedang mencari-cari
lebih banyak data. Ada juga komik untuk
menyambut Hari Buruh," ujar Arnes.
Akan
tetapi, mereka juga tak menutup mata
terhadap komik sebagai sebuah produk
industri. Mereka menerima pesanan dari
berbagai lembaga swadaya masyarakat
untuk kepentingan kampanye. Juga dari
berbagai pihak lain. Akan tetapi, agar
tak mengganggu citra dari komitmen
mereka, komik pesanan itu diterbitkan
dengan bendera lain.
Warga
Tribe Studio juga memulai perjalanan
mereka dari komik fotokopian, sampai
kemudian mereka berhasil menerbitkan
komik dalam bentuk buku. Anak-anak
yang berbasis Universitas Parahyangan
itu kini sudah berhasil menerbitkan
sebagian komik-komik, biasanya lewat
penerbit kecil.
Model
pembuatan komik juga disadari sudah
jauh berbeda dibandingkan dengan era
1950-an sampai 1980-an. Saat itu komik
merupakan karya individu, tak ubanya
karya seni. Sekarang, komik digarap
atau dikerjakan berkelompok. Mereka
sadar pembuatan komik tidak dapat lagi
seperti di masa lalu saat seorang komikus
membuat cerita, gambar, hingga mengisi
warna. Bagaimanapun, komik sudah menjadi
produk yang unsurnya dapat dipilah
dan dikerjakan seperti hanya produk
di atas ban berjalan.
Eric
dari Tribe Comic Studio tidak menyangkal
kalau gambar mereka disebut-sebut ada
kemiripan dengan manga, komik khas
Jepang yang mengisi ruang baca keluarga
Indonesia sejak awal 1990-an. Setelah "masa
tidurnya" komik Indonesia sejak
akhir 1980-an, menurut Eric, generasi
muda tidak mempunyai banyak referensi
lagi terkait komik nasional. Komik-komik
nasional menghilang dari display toko
buku. Sebaliknya, komik asing, terutama
dari Jepang, membanjiri pasar.
Mereka
hidup di era komik Jepang yang menjadi
referensi bagi sebagian besar dari
mereka. Lagi pula, kata Eric, komik
ala Negeri Sakura itu lebih mudah dipelajari:
mulai dari tarikan garisnya, cahaya,
hingga jalan ceritanya. Komik sendiri
sesungguhnya merupakan media Barat
yang dikenal di negeri ini sejak 1930-an
melalui komik strip surat kabar. Pengaruh
Barat dan China sudah lebih dahulu
mewarnai karya-karya komikus di masa
lampau.
Akan
tetapi, kata Eric, Tribe Comic mencoba
memberikan cerita yang khas kehidupan,
karakter, dan setting alias rasa lokal.
Dalam komik mereka yang berjudul Drop
Shot Love, misalnya, topik memang masih
seputar percintaan remaja, tetapi dengan
latar belakang permainan bulu tangkis
yang sudah menjadi bagian dari olahraga
populer di Indonesia. Lokasi di Kota
Bandung lengkap dengan Gelanggang Olahraga
Padjadjaran dan sebuah supermal besar,
termasuk jenis angkutan kota yang digunakan.
Apresiasi
publik
Ketua
Panitia Festival Komik Indonesia Satu
Dekade, sekaligus komikus dari Akademi
Samali, Beng Rahadian, mengatakan bahwa
apresiasi masyarakat terhadap komik
Indonesia terbilang rendah. "Masyarakat
luas belum mengetahui bahwa selama
satu dekade ini sesungguhnya ada karya-karya
yang dihasilkan," ujarnya.
Banyak
perubahan terjadi dalam penyajian komik.
Komik tidak selalu dikerjakan perorangan,
tetapi juga mengadaptasi pola kerja
kelompok. Sebagian lainnya bergerak
secara independen dengan menerbitkan
komik mereka sendiri. Selebihnya memilih
menggunakan medium seperti internet,
seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi.
Menurut
Surjorimba Suroto, penggemar sekaligus
pengamat komik yang menjadi kurator
pameran, karya yang dipamerkan merupakan
karya yang telah diterbitkan. "Namun,
sesungguhnya yang tidak diterbitkan
lebih banyak lagi," kata Suroto.
Agar
dapat bangkit, produksi komik harus
ada di Tanah Air, dibaca, serta diapresiasi
oleh masyarakat. Sejumlah komik anak
bangsa sempat diterbitkan secara luas,
tetapi terhenti di tengah-tengah. Komikus
Toriq, misalnya, sempat memberikan
angin segar dengan menciptakan komik
jagoan berjudul Caroq. Caroq dikemas
seperti komik Barat dengan rasa lokal.
Namun, Caroq kemudian juga menghilang
dari di toko buku. Beng sendiri sempat
membuat komik bertajuk Selamat Pagi
Urbas.
Komik
saingan sudah tentu dari Jepang dengan
kekuatan hiperbola, gaya penuturan
membumi, serta dramaturgi yang baik. "Tantangan
juga dari komik Barat yang pelestarian
ceritanya sangat baik. Misalnya, dibuat
variasi cerita di mana para superhero
bertemu atau pemakaman bersama. Bahkan,
ada cerita superhero menua dan menghadapi
masalah identitas, seperti dalam cerita
Identity Crisis," ujar Beng.
Beng
mengatakan, komik-komik independen
ada yang dalam hal gambar sudah baik,
tetapi untuk penceritaan masih lemah.
Terlepas dari kekurangan semacam itu,
setidaknya semangat untuk membangkitkan
komik lokal masih ada dan kebangkitannya
bukan impian gila....
|